Home » » Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal

Partai Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal

Posted by Mozaik Sejarah on Rabu, 21 Juli 2010




Sebagai bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama dalam politik pun faktor – faktor primordialisme cukup kuat pengarunya. Pada masa perjuangan melawan penjajah, faktor – faktor primordialisme itu dapat disatukan dengan kesamaan tujuan dan cita – cita yakni tercapainya kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia diraih, masing-masing golongan dengan ideologinya berusaha untuk mewarnai kehidupan kenegaraan. Dalam proses perumusan dasar negara setelah kemerdekaan terlihat gigihnya tokoh-tokoh politik dalam memperjuangkan ideologinya supaya ikut mewarnai falsafah dasar negara. Perdebatan disekitar perumusan dasar negara jelas menunjukan adanya polarisasi ideologi yang memiliki orientasi berbeda, bahkan tidak hanya sekedar berbeda tetapi bertolak belakang.


Herbert Faith memetakan politik aliran di Indonesia pada periode 1945 – 1965
terbagi menjadi lima yaitu Tradisi Jawa, Islam, Nasionalisme, Komunis Radikal dan Sosial Demokrat. Sebelum kemerdekaan, tahun 1920-an, Sukarno sering membagi aliran-aliran yang berkembang di Indonesia menjadi Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Sosialis dan Komunis).


 Dalam politik praktis, polarisasi ideologi tersebut dapat tercermin dengan berdirinya partai-partai politik yang menjadi alat untuk memperjuangkan misi ideologinya. Pada level ini dapat tergambar dengan jelas adanya pengelompokan partai berdasarkan ideologi yang diusungnya. Pada masa orde lama, Kelompok Nasionalis mendirikan partai yang bercorak kebangsaan dengan PNI sebagai partai terbesar, selain itu terdapat pula partai PIR Hazarin dan PRN. Sementara itu kelompok Islam sepakat membentuk satu partai yaitu Masyumi sebelum terpecah dan berdampak pada keluarnya berbagai unsur di dalam Masyumi dan memilih menjadi partai baru, diantaranya adalah NU dan PSII. Kelompok Komunis secara konsisten menjadikan PKI sebagai alat perjuangannya dan Kaum Sosialis-demokrat mendirikan partai PSI dan Murba.

Pada dasarnya faktor ideologi ini yang menjadi dasar pertikaian diantara partai – partai politik di Indonesia. Sulitnya kerjasama diantara elit partai menuju ke arah konsensus disebabkan amat kuatnya ikatan ideologi. Hal ini karena belum adanya ideologi yang mampu menyalurkan elit pada suatu persetujuan yang mendasar mengenai politik, kenegaraan dan kemasyarakatan. Dengan dermikain, ideologi yang diharapkan menjadi alat untuk menggerakan masyarakat mencapai misi yang di cita-citakan bersama, didalam pelaksanaanya membawa efek terbalik.
Baliho Partai politik kontestan Pemilu 1955
Fragmentasi Kekuatan Politik dan Pengaruhnya Terhadap Konflik Internal di Dalam Tubuh Partai Politik
 Penerapan ideologi yang kuat, yang diharapkan mampu menjadi alat pemersatu bagi individu-individu didalam partai politik tidak selamanya berimplikasi pada integrasi dan soliditas didalam internal partai politik. Meski memiliki kepentingan yang sama (public interest), namun seringkali para elit didalam internal partai politik tak dapat sepakat ketika menginterpretasikan dan merumusakan kebijakan partai yang tepat dalam mencapai tujuan bersama tersebut. Konflik internal yang tak dapat diselesaikan secara baik umumnya berdampak pada fragmentasi kekuataan politik. Fragmentasi politik yang di maksud penulis adalah terpecahnya kekuataan politik didalam suatu kelompok yang tunggal menjadi beberapa bagian.

        Fragmentasi politik ini sesunggunya ada pada setiap kelompok politik aliran, namun fragmentasi didalam tubuh kelompok Islam dan Kelompok Nasionalis merupakan fragmentasi yang sangat dominan mewarnai sejarah politik di Indonesia. Dhorurudin Mashad dalam melihat fragmentasi didalam partai Islam membagi pada dua level. Fragmentasi level pertama terjadi karena keyakinan dan pemahaman keagamaan dikalangan umat Islam tidak homogen. Geertz dalam karyanya The Religion of Java membagi masyarakat Islam di Jawa kepada kelompok yang terpecah yakni Abangan, Santri dan Priyayi. Pembelahan tipe keagamaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi pada pola dukungan dan afiliasi politik mereka. Fragmentasi pada level kedua terjadi pada kaum santri. kaum santri pun terpecah antara kubu modernis yang ingin melakukan purifikasi Islam dan orisinalitas Islam melawan Kaum tradisionalis 
yang ingin mempertahankan tradisi keagamaan berbasis kemapanan dan finalitas mahdzab tradisional.
       
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia berbagai kekuataan politik dan ormas Islam pada tanggal 7-8 November 1945 sepakat mendirikan Partai Masyumi (Majlis Syuro muslimin Indonesia) yang menjadi satu-satunya partai Islam di Indonesia. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Al- Irsyad, Ma'iyatul wasliyah, Al- Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Ketika M. Natsir memimpin Masyumi (1949-1958), ketidakpuasaan kelompok tradisional didalam Masyumi mulai nampak. Dewan Partai dalam Masyumi dinilai telah didominasi kelompok Modernis. NU sebagai representasi kelompok tradisional akhirnya memutuskan untuk keluar dan mendeklarasikan partai yang berdiri sendiri ditahun 1952. Sebelumnya pun Sarekat Islam (SI) pada Juli 1947 keluar dari Masyumi dan mendirikan partai PSII.
        
Dengan berpisahnya PSII dan NU dari Masyumi berarti politik Islam terfragmentasi menjadi : Masyumi, NU, PSII dan Perti, selain ada pula Partai Persatuan Tharikat Islam (PPTI) dan AKUI (Aksi Kemenagan Umat Islam). Bahkan, kekuatan politik Islam akhirnya saling berhadap-hadapan : NU menjadi bagian kabinet Ali Sastroamidjojo, sedangkan Masyumi menjadi oposisi. Fragmentasi politik Islam ini akhirnya berimplikasi pada Pemilu 1955. Kendati aliran Islam secara total mendapat jumlah terbesar yakni 45,2% (116 kursi), namun setelah dibagi berdasarkan partai hasil suara tertinggi adalah PNI (57 kursi), disususul Masyumi (57) NU (45) dan PKI (39).
       
Sementara didalam kubu nasionalis fragmentasi politik terjadi antara golongan nasionalis reaksioner sosial demokrat, nasionalis revolusioner dan reaksioner feodalis, yang mempunyai penafsiran berbeda-beda dalam memahami Marhaenisme. Perpecahan sering dipicu oleh pertentangan yang bersifat pragmatis serta pola kepemimpinan yang tidak demokratis. Kepemimpinan kaum nasionalis setelah berkuasa sering diwarnai oleh kultur feodalisme dan kultus individu yang mengaibakan asas-asas demokrasi berpotensi menimbulkan perpecahan didalam tubuh partai berazaskan nasionalisme.
        
Secara Kronologis fragmentasi didalam tubuh kaum nasionalis ini dapat ditelusuri sejak pertama kali Sukarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927. Tidak lama kemudian PNI dibubarkan oleh Pemerintah Belanda pada Juli 1930. PNI terpecah menjadi Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidkan Nasional Indonesia (PNI Baru). Setelah Kemerdekaan, tanggal 29 Januari PNI dibentuk kembali, namun tidak lama kemudian antara tahun 1950 sampai 1959, PNI pecah menjadi Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Indonesia (Partindo), dan Partai Indonesia Raya (PIR). Kemudian PIR ini juga terpecah menjadi PIR Hazarin dan PIR Wongsonegoro. Demikain juga dengan Partindo pecah menjadi Partindo Buntaran dan Partindo Asmara. 

Konflik Antar Partai Politik dan Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Politik Nasional
Untuk melihat bagaimana konflik politik dan pengarunya terhadap kestabilan politik selama demokrasi liberal perlu dipergunakan sebuah parameter, salah satu parameter stabilitas politik adalah pemerintahan yang kuat yang didukung oleh kekuataan konstitusi dan legitimasi mandat kekuasaan. Dalam masa demokrasi liberal stabilitas politik tidak tercapai, instabilitas tersebut dapat diukur dengan jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat dari kabinet satu ke kabinet yang lainnya. Seperti dikutip Arbi Sanit selama Indonesia merdeka tak kurang dari 25 kabinet yang telah memerintah Indonesia. Dari angka itu hanya 7 kabinet yang berhasil memerintah selama 12 – 23 bulan, 12 kabinet berumur antara 6 sampai 11 bulan dan 6 buah kabinet hanya mampu bertahan 1 sampai 4 bulan. Sehingga sulit bagi setiap kabinet untuk menyelesaikan setiap program pemerintahannya.
    
Kabinet pertama pasca pembubaran RIS dan bersatunya kembali wilayah Republik Indonesia, berkuasa antara septembar 1950 hingga Maret 1951. Kabinet ini dipimpin oleh Natsir dari Masyumi dengan didukung oleh PSI.Kabinet ini hanya bertahan dalam waktui kurang lebih tujuh bulan. Pertentangan kabinet Natsir dengan Parlemen yang dipelolopori oleh PNI soal Penyelesaian Irian Barat dan peraturan daerah tentang Pemilihan anggota DPRD menjadi penyebab Natsir mengembalikan mandatnya ke Presiden. Kabinetnya berikutnya dipimpin oleh Soekiman Wirjosandjojo yang merupakan koalisi Masyumi dan PNI. Pada periode ini konflik terjadi antara pemerintahan kabinet dengan PKI. Terdapat upaya serius dari kabinet Soekiman untuk menumpas PKI dengan cara penangkapan besar-besaran terhadap aktivis PKI. Faktor utama kejatuhan kabinet Soekiman adalah Krisis Kebijakan luar negeri Indonesia yang dipicu oleh ditandatanganinya persetujaun bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Securitry Act ( MSA). Sontak hal itu memunculkan mosi tidak percaya dari parlemen. Kabinet ini berkuasa kurang lebih sembilan bulan.
    
Silih bergantinaya kabinet dalam waktu yang relatif cepat terus terjadinya hingga masa kabinet Djaunda. Kabinet ini dipimpin oleh Djaunda Kartawidjaja di mulai pada bulan April 1957 sampai berakhirnaya masa demokrasi liberal, meskipun Djuanda berlatar belakang non-partisan (Independen) namun anggota kabinet ini banyak diisi oleh PNI dan NU. Sedangkan PKI memilih berada diluar pemerintahan selama masa jatuh bangunnya kabinet, justru sikap PKI yang menjadi oposisi pemerintahan memperoleh keuntungan dari setiap kegagalan pemerintahan.
    
Akibat dari krisis politik yang berlarut-larut tersebut, Sukarno dalam pidatonya pada tanggal 28 Oktober 1956 meminta agar partai-partai dikuburkan saja (dibubarkan). Dua hari kemudian beliau mengemukakan sebuah gagasan, yakni suatu konsepsi tentang sebuah sistem pemerintahan baru, yaitu " Demokrasi Terpimpin". Masyumi dengan tegas menolak gagasan Sukarno untuk mengubur partai-partai dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Natsir mengatakan bahwa membubarkan semua partai berarti mengganti demokrasi dengan diktatorisme. Jika semua partai dikuburkan, maka demokrasi pun akan masuk ke liang kubur. Sementara partai-partai lain dengan sikap pragmatisnya masih mempertimbangkan baik dan buruknya suatu sistem baru ini terhadap posisi politik partai mereka.
    
Momentum demokrasi parlementer adalah momentum dimana sebenarnya partai-partai politik memiliki kesempatan yang sangat luas untuk merumuskan jati dirinya, memposisikan diri kedalam sistem politik dan mendefinisikan fungsi yang bisa mereka lakukan. Namun sayangnya partai-partai politik gagal memanfaatkan ruang yang tersedia. Ruang itu justru dipergunakan untuk semata-mata perjuangan merebut kekuasaan politik tanpa dilandasi agenda bersama yang terarah. Ekspektasi masyarakat yang tinggi pasca penyelenggaraan Pemilu 1955 untuk mewujudkan lembaga legislatif yang berwibawa dan pemerintahan yang kuat agar mampu membawa aspirasi dan kesejahteraan rakyat ternyata tak menjadi kenyataan. Instabilitas politik justru berdampak pada merosotnya Perekonomian makro dan mikro Bangsa Indonesia.
    
Krisis politik yang berlarut-larut dipusat (yang melahirkan krisis kepercayaan kepemimpinan) dan tidak meratanya perimbangan ekonomi antara pusat dan daerah pada akhirnya menimbulkan berbagai pemberontakan didaerah. pergolakan daerah dimulai pada tahun 1956 dengan berdirinya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni, Dewan lambung Mangkurat, kemudian meningkat menjadi "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" (PRRI/Permesta). Sementara itu lembaga konstituante tak kunjung merampungkan tugas konstitusinya. Kebuntuan politik dalam menetapakan Undang-Undang Dasar dikarenakan pertentangan para anggota konstituante yang disi oleh orang-orang partai politik yang mencoba memasukan ideologi partainya ke dalam dasar negara.
    
Gagalnya usaha Konstituante dalam merumuskan dasar negara dan rentetan peristiwa-peristiwa politik mencapai klimaksnya ketika Presiden Sukarno berkesimpulan bahwa telah timbul : "keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan Negara, Nusa dan Bangsa". Demi keselamatan negara dan berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00, dalam upacara resmi di Istana Merdeka diumumkan dekrit Presiden mengenai Pembubaaran konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin


0 komentar:

Posting Komentar

.comment-content a {display: none;}