Dekrit Presiden Republik Indonesia mempunyai berimplikasi luas pada perubahan
sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Pertama, tindakan tersebut
mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri.
Kedua, berakhirnya periode parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan
berakhirnya pula periode pemerintahan oleh partai politik. Peranan parlemen
perlahan beralih ketangan Presiden Sukarno. Melalui konsep demokrasi
terpimpinnya ia mencela demokrasi barat yang liberalistik yang menyebabkan
ketidak stabilan politik dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu
Sukarno ingin mengembalikan kewenangannya sebagai Presiden (dalam sistem
presidensil) yang tak didapati dalam masa demokrasi parlementer.
Dalam pidatonya pada
peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno menguaraikan ideologi
demokrasi terpimpin, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol
(Manifestasi Politik) yang isinya berintikanUSDEK (Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia). Manipol-USDEK adalah doktrin resmi yang dicetuskan oleh Sukarno
sebagai suatu konsep politik yang harus diterima dan dijalankan dalam setiap
aktifitas berbangsa dan bernegara. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut,
maka MPRS yang sudah tunduk pada Sukarno menetapkan Manipol USDEK sebagai GBHN
dan wajib diperkenalkan disegala tingkat pendidikan dan pemerintahan, selain
itu pers pun diharuskan mendukungnya.
Sebenarnya hanya
disebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati,
sedangkan disebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran.
Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu
upaya unutk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di
Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan perbedaan
besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam.
Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan
Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka
pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
Pandangan negatif
Soekarno terhadap sistem liberal pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan
partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit
yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah
yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia.
Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan
oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih
menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan
militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan
sebagai penyeimbang.
Berdasarkan pemikiran
tersebut maka langkah yang diambil pemerintah Sukarno adalah melakukan seleksi
dan penyederhanaan partai politik. Dengan dikeluarkanya Pen-pres No.7 tahun
1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai maka menjadi pertanda
dimulainya intervensi politik pemerintah terhadap partai-partai. Peraturan
tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
- Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila.
- Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk
mewujudkan cita-cita politiknya.
- Menerima bantuan luar negeri hanya seizin
pemerintah.
- Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang
terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah
cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah
tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia
- Presiden berhak menyelidiki administrasi dan
keuangan partai.
- Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya
diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi tidak
mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan.Hasilnya melalui
Keppres No.128-129 tahun 1960 dan Keprres No. 440 tahun 1961 Pemerintah
hanya mengakui adanya 10 partai politik yaitu : PNI, NU, PKI, Partai
Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam.
Disamping upaya untuk
melakukan penyederhanaan partai politik, Sukarno membentuk suatu wadah untuk
memobilisasi semua kekuatan politik dibawah pengawasan pemerintah. Wadah itu
dibentuk pada tahun 1960, yaitu Front Nasional. Semua partai diwakili
didalamnya, begitupula kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang mendapat
kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, yaitu
golongan fungsional dan ABRI. Umumnya muncul anggapan bahwa Front Nasonal adalah
sebuah usaha untuk memperlemah peran dan mempersempit ruang gerak partai
politik. Namun sebaliknya kehadiran PKI dalam Front Nasional berhasil
mengembangkan sayapnya dan mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan politik.
(Agung Djojoseokarto dkk, 2008 : 18)
Soekarno berusaha
mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi
Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan
tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang
mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya.
Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti
Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk
kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan
bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan "kekuatan-kekuatan
yang sedang tumbuh" di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh
Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa,
Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan
mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi
terpimpin.
Konfigurasi Politik Pada
Masa Demokrasi Terpimpin
Peta politik Indonesia
berubah secara drastis terutama dapat dilihat dari semakin berkurangnya peranan
partai-partai politik, kecuali beberapa partai yang dekat dan mau menerima
konsepsi Sukarno. Salah satu konsepsi Sukarno yang sangat terkenal dalam masa
demokrasi terpimpin adalah NASAKOM (Nasionalis Agama dan Komunis). Dengan
konsepsi tersebut Sukarno ingin menggabungkan bahkan meleburkan berbagai
ideologi kedalam suatu aliansi politik dan memaksa masing-masing ideologi yang
bertentangan itu untuk bekerjasama dalam sistem demokrasi terpimpin yang
dibangun Sukarno. Bila melihat Peta kekuatan politik yang mendominasi berbagai
institusi politik di Indonesia maka konfigurasi politik yang tebentuk pada masa
demokrasi terpimpin adalah : Sukarno - ABRI (AD) – PKI
Masuknya ABRI kedalam kancah politik (Kesertaan wakil ABRI dalam Front Nasional
dan DPR-GR) menjadikan ABRI sebagai kekuatan sosio-politik yang telah
terorganisir dan patut diperhitungkan dalam konfigurasi politik nasional.
Sebelum itu, Keputusan Presiden untuk memberlakukan SOB atau Undang-Undang
Darurat Keadaan Perang pada 14 Maret 1957 telah memberi keleluasaan pada
Angkatan Darat untuk memperluas gerak dan pengaruh politiknya atas nama
keamanan dan ketertiban negara. Maka tak heran bila pada akhir tahun 1957
Angkatan Darat dapat mengambil alih aset perusahaan-perusahaan asing yang
disita, sehingga memungkinkan Angkatan Darat untuk memiliki modal sendiri dalam
membiayai gerakan-gerakan politiknya. Dibawah Jenderal Nasution, ABRI Khususnya
Angkatan Darat amat mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959, karena dengan
kembali ke UUD 1945, Presiden akan memiliki kekuasaan yang penuh sehingga
Angkatan Darat makin yakin bahwa ia akan mampu mempengaruhi Presiden. Oleh
karena itu, tentu tidak kebetulan bahwa sejak 1959 Angkatan Darat kian sentral
perannya dalam perpolitikan Indonesia
Dalam pemikiran Presiden
Sukarno, beliau sesunggunya menghendaki adanya tentara Indonesia untuk berperan
dalam politik nasional melalui kekaryaan. Konsep kekaryaan tentara inilah yang
kemudian merupakan paham yang mendasari berdirinya Sekretariat Bersama golongan
Karya ( Sekber Golkar), yang lahir pada bulan Oktober 1964. Khusus untuk
Angkatan Darat (AD), pola hubungan antara Sukarno dengan AD terbilang unik
bahkan terkadang diwarnai intrik. Sukarno menyadari Angkatan Darat dibawah
kepemimpinan Nasution dan Ahmad Yani mulai menunjukan pengaruh dan geliat
politiknya, keadaan ini bagi Sukarno apabila dibiarkan dapat mengurangi bahkan
menghilangkan Pengaruh dan Kekuasaan Sukarno sebagai pemimpin tunggal. Ada dua
cara yang ditempuh Sukarno dalam mengamankan kekuasaanya dari Pihak Angkatan
Darat. Pertama, Beliau berusaha mendapatkan dukungan partai politik yang
berpusat di Jawa, Khususnya PKI. Kedua, Merangkul angkatan-angkatan bersenjata
lainnya, terutama Angkatan Udara sebagai penyeimbang dari kekuatan militer.
Disisi lain kepentingan Angkatan Darat dalam penguasaan politik nasional selain
bermotif kepentingan yang bersifat pragmatis elit-elit Angkatan Darat, juga
bermaksud untuk menghindari pengaruh PKI yang semakin menunjukan perkembangan
yang cukup signifikan dalam perpolitikan nasional.
Partai Komunis Indonesia
perlahan menjadi partai yang berkembang pesat dan mendapatkan tempat yang
strategis jika dibandingkan dengan partai-partai lain. PKI berhasil
memanfaatkan berbagai peristiwa politik dalam dan luar negeri Indonesia untuk
menaikan popularitasnya. Sementara itu Kristalisasi politik Islam era demokrasi
terpimpin akhirnya menjadi kenyataan. Disaat PKI naik popularitasnya, kenyataan
sebaliknya justru menimpa partai-partai Islam. Saat itu, NU, PSII,dan Perti
yang ikut dalam sistem yang dibangun Sukarno dimasukan kedalam jaringan
kekuasaan. Adapun Masyumi sebagai Partai Islam terbesar yang melawan rezim
Sukarno disingkirkan dari seluruh lembaga politik formal. Bagi Sukarno jika
Masyumi merintangi Revolusi politik yang digagasnya, maka PKI adalah pelopor (avantgarde)
dari unsur partai yang dapat diandalkan bagi kekuataan revolusioner. NU yang
loyal pada demokrasi terpimpin kendati dimasukan kedalam kekuasaan tapi
keberadaannya tak lebih sekedar pelengkap dan menempati posisi pinggiran.
Penempatan sebagian golongan Islam dinilai hanya untuk meramaikan jargon
kerjasama yang dipaksakan, Yakni Nasakom.
Konflik Antara Presiden
Sukarno Dengan Penentang Sistem Demokrasi Terpimpin
Krisis politik dan
konflik antara Persiden Sukarno dengan beberapa kelompok penentangnya
sesunggunya telah pecah dimasa-masa akhir masa demokrasi liberal atau menjelang
diterapakannya demokrasi terpimpin. Kelompok yang berseberangan dengan Presiden
Sukarno itu terdiri dari unsur politisi sipil dan Militer. Bagi politisi sipil
yang anti terhadap komunis, pertentangan mereka dengan Sukarno disebabkan
kedekatan Sukarno dengan PKI yang semakin menimbulkan kekhawatiran. Kelompok
ini banyak didominasi oleh golongan Islam modernis. Pasca peristiwa Cikini 30
November 1957 yakni saat terjadi usaha pembunuhan terhadap Sukarno, beberapa
saat kemudian Sukarno menuduh beberapa tokoh Masyumi terlibat didalamnya
diantaranya, Natsir, Syafrudin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap. Harian
Rakyat milik PKI bahkan semakin memprovokasi dan menyerang Natsir dkk, dengan
mengait-ngaitkan para tokoh Masyumi dengan usaha pembunuhan terhadap Sukarno. Menurut
George Mc Turnan Kahin, Guru besar Sejarah Cornell University, Amerkai serikat,
Natsir dan kawan-kawan tidak memiliki hubungan apapun dengan peristuwa Cikini
dan sama sekali tidak memiliki rencana membunuh Sukarno. Namun orang yang
melempar granat itu kebetulan aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).
Organisasi yang dekat dengan Masyumi (Sabili, 2008 : 33).
Sementara dikalangan
Militer mulai muncul ketidakpuasan terhadap pimpinan mereka yakni Kepala staf
Angkatan Darat ( KSAD), Jenderal Abdul Haris Nasution. Beberapa tentara yang
kontra dengan Nasution melihat berbagai pergolakan daerah yang terjadi di
Sumatera dan Sulawesi akibat merasa tidak puas dengan alokasi biaya pembangunan
dapat dijadikan kuda tunggangan untuk menekan pemerintah pusat. Pada akhirnya
gerakan ini bermuara pada upaya penggulingan kekuasaan Sukarno dan Nasution
serta politisi Jawa yang dianggap dekat dengan kaum Komunis. Beberapa politisi
pusat yang mengalami tekanan dan fitnah oleh pihak pemerintah dan PKI di Jawa
akhirnya memutuskan untuk hijrah ke daerah dan bergabung dengan gerakan
perlawanan daerah (PRRI). Diantara mereka terdapat nama-nama yang cukup
terkenal bahkan berjasa terhadap berdirinya Republik Indonesia, antara lain :
Natsir, Burhanudin Harahap, Syafrudin Prawiranegara, M. Sa'ad dan Soemitro
Djojohadikoesomo. Beberapa tokoh tersebut mengingatkan bahwa arah gerakan PRRI
ini bertujuan memberi ultimatum kepada Presiden Republik Indonesia Sukarno agar
segera mendemisionerkan kabinet Djuanda yang telah dipengaruhi unsur PKI
kemudian menyerahkan mandat Presiden kepada Hatta dan Hamengkubuwono IX untuk
menjadi formatur dalam pembentukan kabinet baru.
Tokoh-tokoh sipil yang
terlibat gerakan perlawanan daerah secara kebetulan berasal dari partai politik
: Masyumi dan PSI. Kedua partai ini sangat keras pertentangannya dengan PKI.
Terlibatnya beberapa tokoh Masyumi membuat eli-elit partai ini terbelah antara
yang mendukung keputusan Natsir dan kawan-kawan dan yang menentangnya. KH Isa
Anshary seorang tokoh Masyumi mengecam keras tokoh-tokoh DPP Masyumi yang aktif
di PRRI. Demikian pula pendapat senada yang diutarakan Sekretaris Umum Majelis
Syura Masyumi, KH Saleh Suaidy. Walaupun menurut Mc. T kahin kadar keterlibatan
para tokoh tidaklah sama, contonya Natsir yang tidak banyak ikut serta dalam
proses gerakan yang berujung perang saudara. Ia menolak cara-cara konfrontasi
dalam menekan Jakarta dan Menganjurkan agar gerakan ini tetap dalam koridor
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Konflik antara beberapa
tokoh politik dengan Sukarno semakin meruncing ketika Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bagi para penentang Sukarno, Dekrit tersebut
semakin menegaskan kediktaktoran Pemerintah dibawah Sukarno. Pendapat tentang
kediktatoran pemerintah semakin menguat manakala pada bulan Maret DPR hasil
Pemilu 1955 menolak anggaran belanja Pemerintah dan berujung pada pembubaran
DPR oleh Presiden dan menggantikannya dengan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-
Gotong Royong). Kemudian Presiden menetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS). Semua anggota dan Pimpinan Kedua lembaga tinggi negara itu
diangkat oleh Presiden. Mensikapi tindakan Presiden yang melanggar Konstitusi
tersebut dan meningkatnya peran PKI didalam era demokrasi terpimpin maka pada
tahun 1960 atas inisiatif Moh. Hatta dan beberapa tokoh partai politik terutama
Masyumi dan PSI mendirikan Liga Demokrasi
Liga demokrasi tidak
bisa bertahan lama, arus politik sedang mengarah kepada Sukarno dan
pendukungnaya, melawan Sukarno berarti melawan arus kekuasaan. Politik
pencitraan pecah belah selalu dihembuskan oleh para pendukung Sukarno terutama
PKI dalam menjatuhkan lawan politiknya. Bagi PKI para pendukung Sukarno berada
pada barisan revolusioner progresif dan penentangnya (oposisi) adalah para
pengkhianat dan kontra-revolusioner. Pada bulan Agustus tahun 1960 pemerintah
yang merasa terganggu dengan kelompok oposisi akhirnya membubarkan Masyumi dan
PSI melalui Keppres No. 200 Tahun 1960 dengan alasan keterlibatan beberapa
tokoh didalam partai pada peristiwa PRRI. Suatu keputusan yang bersifat politis
dan menimbulkan kontroversi terutama bila dibandingkan dengan tindakan
pemerintah terhadap PKI yang tidak dibubarkan setelah peristiwa Madiun 1948.
Situasi
politik bertambah panas sesaat setelah terjadinya usaha pembunuhan kembali
Presiden Sukarno di Makasar pada tahun 1962. Tiba-tiba beberapa tokoh yang dianggap
bertanggungjawab atas peristiwa tersebut di jebloskan kepenjara. Natsir,
Syafrudin, Simbolon, Burhanudin, Syahrir, Prawoto, Roem, Anak Agung Gde Agung
harus merasakan hidup didalam penjara. Tindakan tersebut dikecam oleh M. Hatta
dalam surat pribadinya yang ditujukan untuk Sukarno tertanggal 19 Januari 1962.
Hatta didalam suratnya ia menyatakan sebagai berikut :
"Sekarang masyarakat gempar lagi dengan
penangkapan beberapa orang terkemuka, diantaranya, Syahrir, Prawoto, Reom,
Soebadio, Anak Agung Gde Agung dan entah siapa lagi. Menurut berita, mereka
dituduh tersangkut dengan peristiwa Tjinderawasih di Makasar. Saya kira,
manusia yang sehat pikirannya mengutuk perbuatan yang terjadi di Makasar. Dan
saya yakin dari sejarah perjuangan,
bahwa Syahrir dan lain-lainnya itu prinsipil menentang segala macam teror dalam
politik karena bertentangan dengan sosialisme dan perikemanusiaan. Dan Mr. Roem
terkenal seorang politicien
safisfait. Kita selalu menggembor-gemborkan bahwa negara kita
berdasarkan Pancasila, tetapi dimana keadilan perikemanusiaan, demokrasi
sebenarnya. Adakah demokrasi kalau orang merasa takut, harus tutup mulut,
kritik tidak diperbolehkan, sehingga berbagai hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan berlaku leluasa ? Apa yang kita tentang dan kita cela
dahulu dizaman Kolonial Belanda, sekarang berulang kembali atas nama Saudara.
Haraplah saudara renungkan dalam-dalam. "
Bila melihat daftar
nama-nama tokoh politik yang dijebloskan Sukarno ke dalam penjara tidak lain
adalah para kolega beliau dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda maupun
Jepang dan menjadi founding father dalam proses panjang
kelahiran Bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Namun benturan
kepentingan dan pemikiran politik diantara mereka membuat para tokoh bangsa
saat itu akhirnya harus saling menjatuhkan.
Manuver Partai Politik
Menjelang Berakhir Masa Kekuasaan Presiden Sukarno (Orde Lama)
Politik radikal
pemerintah Sukarno berlanjut kepada Kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam
menghadapi masalah Papua pada bulan Desembar 1961 dibentuklah komando Operasi
Tertinggi (KOTI) bagi pembebasan Papua. Sukarno menjadi panglimanya. Nasution
mewakilinya dan Mayor Jenderal Yani menjadi kepala stafnya. PKI berhasil
memenfaatkan kampanye Papua untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak jumlah
anggotanya sendiri. Pada bulan Juli 1962, jumlah anggota front kaum tani PKI
(BTI) mencapai 5,7 juta orang, ini merupakan seperempat dari keseluruhan jumlah
petani dewasa. Pada akhir tahun itu, jumlah anggota SOBSI konon mencapai hampir
3,3 juta orang. Pada awal tahun 1963, jumlah anggota pemuda rakyat dan Gerwani
masing-masing konon mencapai 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI sendiri
mencapai lebih dari 2 juta orang, sehinnga menjadikan PKI sebagai partai
komunis terbesar di negara non komunis di manapun
Setelah masalah Papua
selesai dengan pihak Belanda melalui kesepakatan pada tanggal 15 Agustus 1962,
politik luar negeri Indonesia tetap militan. Sukarno memandang dunia menjadi
dua blok yaitu Nefos ( New Emerging Forces) dan Oldefos
(Old Established Forces). Barat adalah bagaian dari dari Oldefos dan
negara-negara Komunis serta negara baru Asia dan Afrika dalam kategori Nefos. Sukarno
secara implisit meletakan Indonesia sebagai Pelopor dari kekuatan-kekuatan yang
baru muncul. Sukarno tetap curiga kepada Barat dan berpaling ke Blok Timur
(Negara-negara Komunis). Sukarno melakukan kampanye untuk mencegah pembentukan
Federasi Malaysia pada tahun 1963 yang dikenal sebagai konfrontasi. Militer dan
PKI mendukung kampanye konfrontasi dengan alasaan yang berbeda. Militer
khawatir akan pengepungan (encirclement) atas Indonesia oleh Malaysia yang
didomonasi etnis Cina, sementara PKI berupaya menggunakan hal ini sebagai
alasan untuk mendirikan angkatan ke-V yang terdiri dari kaum tani dan buruh
(yang akan dibawah kontrol PKI). Namun demikain Angkatan Darat secara keras
menentang pembentukan angkatan V.
Hubungan antara PKI dan
Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan
hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan
massa. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin,
TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno,
dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara,
mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk
menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat
ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada
akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya.
Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan
tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan
yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai
puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Kepercayaan Sukarno
kepada PKI sebagi pendukung Manipol-USDEK dimanfaaatkan oleh PKI dengan
memperluas pengaruh dan basis dukungan di kalangan masyarakat kelas bawah.
Manuver politik PKI yang dominan berusaha diredam oleh partai-partai lain yang
anti komunis. Selama Demokrasi Terpimpin, NU sebagai lawan politik PKI dan
kekuataan yang tersisa dari kelompok Islam dalam aliansi pemerintahan, melakukan
pembendungan dalam semua aspek kehidupan. Komunis dalam pandangan kelompok
Islam adalah peradaban sekulerisme dan atheisme yang sangat berlawanan dengan
Islam bahkan menjadi musuh semua agama. Bahkan terdapat prasangka bahwa jika
komunis berkuasa, maka kaum Islamlah yang menjadi sasaran pertama dan utama
penindasan. Pemberontakan PKI Madiun (1948) misalnya, menjadi bukti terpenting,
yang memberi stigma psikologis agar umat Islam bersatu melawan Komunis. Untuk
melihat Manuver politik NU dalam usaha membendung kekuataan PKI dapat dilihat
dari tabel berikut ini :
Tabel 3 : Nama-Nama
Ormas milik PKI dan NU
No
|
Nama
Sektor
|
Organisai
Milik PKI
|
Organisasi
Milik NU
|
1.
2.
3.
4.
|
Kepemudaan
Perburuhan Pertanian Kebudayaan |
GerakanOfensif Pemuda
SOBSI
Barisan Tani Indonesia
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
|
Banser Anshor
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (
Sarbumusi)
Persatuan Tani NU
Lembaga Seni Budaya Muslim (
Lesbumi)
|
Selain itu, NU masih
juga membentuk organisasi penggalangan masa melalui berbagai underbow seperti
Ikatan Pelajar-pelajar NU (IPNU), Muslimat NU, Persatuan Guru NU (Perguru),
Pergerakan Mahasisiwa Islam (PMII) dan lain-lain. Dari fakta itu terliahat
jelas, bahwa di era Demokrasi Terpimpin NU memang memilih berjuang dari dalam,
sebagai realisasi dari ijtihad politik yang bersifat instrumental. Sebab,
melalui cara itu, NU dapat berhadapan langsung dengan PKI diarena politik.
Kendati hal tersebut seolah-olah memperlihatkan kesediaan bekerjasama dengan
PKI. Sikap politik NU di era Demokrsi terpimpin itu oleh sebagian kalangan
membawa hikmah dan manfaat tersembunyi. Sebab, jika NU mengikuti gaya politik
Masyumi, maka NU akan pula dibubarkan sehingga tak ada lagi partai Islam yang
membela Islam ditengah besarnya kekuasaan Sukarno.
Manuver politik PKI yang
langsung berusaha dihadang NU dan golongan anti Komunis lainnya dapat dilihat
secara nyata pada peristiwa yang berujung konflik terbuka pada akhir tahun
1963. Di tahun itu, PKI berusaha melancarkan 'aksi sepihak' untuk memberlakuka undang-undang land
reform yang
dari tahun 1959-1960 pelaksanaanya hampir belum pernah terwujud. Ketika para penduduk desa anggota PKI mulai merampas tanah (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur) mereka terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan tuan tanah, kaum birokrat dan para santri pendukung NU. Keributan, pembakaran, penculikan bahkan pembunuhan banyak terjadi. Sebagian berbentuk kekerasan komunal, yaitu benturan antara kaum abangan pendukung PKI dengan para santri
dari tahun 1959-1960 pelaksanaanya hampir belum pernah terwujud. Ketika para penduduk desa anggota PKI mulai merampas tanah (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur) mereka terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan tuan tanah, kaum birokrat dan para santri pendukung NU. Keributan, pembakaran, penculikan bahkan pembunuhan banyak terjadi. Sebagian berbentuk kekerasan komunal, yaitu benturan antara kaum abangan pendukung PKI dengan para santri
Kekuataan Nasionalis
yang dipelopori PNI dan kekuataan Sosialis-demokrat yang diwakili Murba tak
dapat berbuat banyak dalam menghadapi manuver politik dari PKI. PNI yang dibina
Sukarno sejak pergerakan menuju kemerdekaan dan sebagai pewaris ideologi
marhaen justru ditinggalkan begitu saja. Realitas tersebut menggambarkan sikap
Sukarno tentang partai politik pasca kemerdekaan Indonesia, ia tak pernah
berafiliasi pada satu partai politik manapun. Sebagai tokoh yang terkenal
dengan karakter penganjur kesatuan (solidarity maker) ambisi politiknya
justru ingin mempersatukan ideologi-ideologi yang berbeda yang digunakan oleh
partai politik sehingga dapat menghantarkan bangsa pada persatuan. Suatu konsep
pemikiran yang kemudian ia tuangkan dalam Nasakom. Dampak dari tidak
berafiliasinya Sukarno pada partai politik adalah adanya upaya-upaya dari
berbagai partai politik dan juga Militer untuk saling berlomba mendekati
Sukarno kemudian berusaha mendapatkan kepercayaan dan kekuasaan. Hal tersebut
dapat tercermin ketika semua partai politik dan militer pada 18 Mei 1963 dalam
sidang MPRS mengangkat Sukarno menjadi Presiden seumur hidup. Peristiwa
tersebut menjadi pertanda ketergantungan partai politik (yang ikut dalam sistem
Demokrasi terpimpin) pada Sukarno. Namun ada banyak hal dari independensi
Sukarno yang lebih mengguntungkan PKI
Kedekatan Sukarno dengan
tokoh-tokoh PKI merisaukan tokoh-tokoh partai lain. Pada bulan September 1964
sekelompok wartawan anti PKI dipimpin oleh Adam Malik yang juga tokoh Partai
Murba membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme dengan tujuan sebenarnya adalah
berusaha memisahkan kedekatan Sukarno dengan PKI. Namun Sukarno mengetahui
tujuan itu dan melarang organisasi tersebut pada tanggal 17 Desember 1964.
Usaha untuk memisahkan Sukarno dengan PKI dilanjutkan oleh tokoh-tokoh militer
bekerjasama dengan tokoh-tokoh sipil dengan mendirikan Sekber Golkar
(Sekretariat Bersama Golongan Karya) pada bulan Oktober 1964. Beberapa
organisasi yang pernah berafiliasi ke partai PSI dan Masyumi ikut bergabung
didalamnya.
Salah satu kunci
keberhasilan PKI dalam memperbesar pengarunya adalah kemampuan anggotanya untuk
melakukan infiltrasi kedalam organisasi-organisasi yang mempunyai pengaruh
cukup besar, kemudian secara diam-diam membina dan melakukan proses
doktrinisasi ideologi komunis kepada anggota atau pun simpatisan yang telah
direkrutnaya. Masuknya unsur-unsur komunis di dalam Sarekat Islam pada era
1920-an adalah fakta kesuksesan PKI dalam melakukan infiltrasi kedalam
organisasi besar dan berpengaruh. Salah satu kekuataan yang memiliki pengaruh
besar dalam masa demokrasi terpimpin adalah ABRI. Adanya rivalitas diantara
angkatan bersenjata (AD-AU-AL) dimanfaatkan oleh PKI. Angkatan udara disinyalir
telah dekat dengan PKI. Sementara angkatan darat dan angkatan laut masih
dipimpin oleh Jenderal-Jenderal yang anti Komunis.
Walaupun AD adalah
kekuatan bersenjata yang paling keras pertentangannya dengan PKI, namun PKI
berhasil menyusup ke dalam tubuh angkatan darat terutama ke dalam Divisi
Diponegoro di Jawa tengah dan Divisi Brawijaya di Jawa Timur. Menurut kesaksian
Sjam di kemudian hari, pada bulan November 1964, PKI membentuk biro khusus
dibawah pimpinanya guna mengkoordinasikan penyusupan ke dalam tubuh angkatan
bersenjata. Pada pertengahan tahun 1965, PKI mempunyai hubungan erat dengan
sekitar 450 orang perwira yang bersimpati kepada PKI di Jawa Tengah dan di Jawa
Timur, serta 250 perwira di daerah -daerah lainnya.
Pada bulan Januari 1965
Sukarno membubarkan Partai Murba. Partai ini adalah pesaing PKI dalam
memperebutkan dominasi kaum kiri. PKI kemudian melancarkan isu adanya Dewan
Jenderal dalam tubuh angkatan darat. Isu ini di lancarkan PKI pada April 1965.
Isu Dewan Jenderal ternyata membuat Presiden Sukarno semakin mencurigai
Angkatan Darat. Tanggal 4 Agustus 1945, Sukarno jatuh sakit. Kejadian ini
rupanya menimbulkan pemikiran pada ketua CC PKI, DN Aidit yang baru pulang dari
perjalanan dari Moskow dan Peking. Aidit berpikiran jika terjadi sesuatu yang
buruk pada Presiden Sukarno maka PKI tidak mempunyai pelindung dan akan
dihancurkan oleh Angkatan Darat. Akhirnya ia berpendapat dari pada didahului
lebih baik mendahului.
PKI kemudian memutuskan
untuk menindak Jenderal-jenderal Angkatan Darat yang dianggap merintangi usaha
PKI dengan memanfaatkan unsur militer yang telah disusupi oleh PKI. Pada
tanggal 30 September 1965 di mulailah operasi penculikan Jenderal-Jenderal.
Menurut beberapa pengamat politik dan militer, Operasi tersebut terbilang kacau
pelaksanaanya dilapangan dan sedari awal tampak akan mengalami kegagalan. Dan
apa yang terjadi setelah itu memang menggambarkan kegagalan operasi dan gerakan
tersebut. Pihak Angkatan Darat di bawah komando Mayjen Suharto berhasil
melumpuhkan secara cepat gerakan ini. Konfigurasi politik di Indonesia berubah drastis
pasca peristiwa Gestapu. PKI yang sebelumnya begitu mendominasi perpolitikan
tiba-tiba harus berhadapan langsung dengan kekuataan militer dan sipil
sekaligus. Suatu dampak dari kegagalan kudeta yang tidak diperkirakan oleh para
pimpinan PKI sebelumnya.
Sukarno berusaha
menenangkan keadaan dan masih mencoba untuk mempertahankan PKI dalam poros
Nasakomnya. Akan tetapi Angkatan Darat yang didukung mahasiswa, pelajar, santri
dan masyarakat sipil lainnya yang anti komunis telah bergerak di daerah-daerah
untuk menumpas kekuataan PKI yang dianggap bertanggung jawab atas terbunuhnya
para Jenderal. Maka yang terjadi selanjutanya adalah aksi balasan dari semua
elemen yang anti terhadap PKI. kelompok-kelompok pemuda dari barisan organisasi
muslim seperti Barisan Ansor NU dan Tameng Marhenis PNI dengan dukungan tentara
melakukan pembunuhan massal terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada
akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan. Dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi
Kelompok Nasakom di
tambah Militer yang diharapkan Sukarno dapat bersatu padu dalam sistem yang
digagasnya ternyata terlibat konflik yang terbuka setelah perisriwa Gestapu
meletus. Bangunan demokrasi terpimpin dengan konsepsi Nasakom yang memang sudah
rapuh akhirnya benar-benar hancur. Bagi kelompok Islam, Kelompok Nasionalis
(yang anti Komunis) dan kelompok Militer peristiwa tersebut adalah momentum
pembersihan besar-besaran semua unsur Komunis yang bercokol di Indonesia.
Perubahan konfigurasi politik tidak hanya ditandai dengan hancurnya kekuataan
PKI di Indonesia tetapi juga ditandai dengan mulai memudarnya pengaruh Presiden
Sukarno didalam perpolitikan. Kekacauan politik dan ekonomi yang melanda bangsa
Indonesia setelah tahun 1965 mendorong menguatnya wacana suksesi kepemimpinan
nasional.
Para politisi sipil dari
partai politik yang telah menguasi pucuk pimpinan lembaga-lembaga politik sejak
masa demokrasi liberal tak lagi dapat berperan banyak dalam proses suksesi
kepemimpinan pasca Sukarno. Masyarakat dan tentu saja media massa saat itu
tengah memuji langkah-langkah pihak Militer (dengan kekuataan sosio-politiknya)
yang mampu mengembalikan stabilitas politik dan keamanan negara. Kekuasaan
Sukarno yang cenderung otoriter namun masih menjaga perimbangan kekuatan
politik akhirnya digantikan oleh militer. Dalam perjalanan selanjutnya, Militer
yang dibantu birokrat setelah mendapatkan kekuasaan bersikap jauh lebih
otoriter. Atas nama stabilitas politik, keamanan dan pembangunan maka tak ada
lagi perimbangan kekuataan. Semua unsur kekuasaan harus tunduk padanya.
Sementara partai politik semakin terpinggirkan perannya dan hanya menjadi
pelengkap bagi terbentuknya citra pemerintahan demokrasi yang sesunggunya semu
belaka didalam era baru yang (oleh para pendirinya) di namakan sebagai
"Era Orde Baru".
Referensi :
M.Rusli karim, 1993, Perjalan
Partai Politik di Indonesia : sebuah potret pasang surut, Jakarta :
Rajawali Pers
Poerwantana, 1994, Partai
Politik di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
S. Kirbiantoro dan Dody
Rudianto, 2006, Pergulatan Ideologi Partai Politik diIndonesia, Jakarta
: Inti Media Publisher
Arbi Sanit,2007, Sistem
Politik di Indonesia : Kestabilan, peta kekuatan politik dan pembangunan,
Jakarta : Raja Grafindo Persada
Dhurorudin mashad, 2008, Akar
Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Pustaka Al-kautsar
M.C Ricklefs,2005, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta : Serambi
Mohammad Hatta,2008, Demokrasi
Kita : Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Bandung :
Sega Arsy
Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1975, Sejarah Nasional Indonesia
VI. Jakarta : Balai Pustaka
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus