Kolonialisasi Kerajaan Belanda terhadap kepulauan Nusantara sepanjang awal abad XVII sampai pertengahan Abad XX, telah merubah struktur dan komposisi penduduk pribumi yang telah lama terbangun dibawah sistem monarki Hindu-Budha, dan kesultanan Islam. Pemerintah Hindia Belanda yang diserahi tanggungjawab oleh kerajaan Belanda, mengurus daerah koloninya di Nusantara ,terutama pulau Jawa, membuat berbagai kebijakan yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaannya di nusantara hingga berabad-abad lamanya. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dibidang kependudakan, informasi statistik penduduk, dan permasalahan penduduk khususnya di pulau Jawa.
Stratifikasi Sosial : Senjakala Pribumi
Pemerintah Hindia Belanda menyadari
perlunya pembagian kelas sosial (stratifikasi sosial) bagi penduduk yang
mendiami Jawa. Pembagian kelas sosial yang pada kelanjutannya mendorong adanya
pemisahan kelas sosial’/, diatur dalam Pasal 163 indische staatsregeling. Kecuali untuk mempermudah pengaturan
etnis, kebijakan ini bertujuan pula menurunkan dominasi pribumi, khususnya dibidang
ekonomi dan sosial. Politik diskriminasi dan pecah belah ini dilakukan dengan
cara membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan :
Eropa
( termasuk
Belanda)
Timur
asing (Cina , ,Arab, India )
Inlander ( pribumi)
Inlander ( pribumi)
Selain itu masih ada lagi kebijakan
teknis pencatatan sipil. Staatsblad
1849-25 tentang catatan sipil penduduk Eropa, Staatsblad 1917-130 tentang
catatan sipil untuk Golongan Timur, Staatsblad
1920-751 tentang catatan sipil untuk golongan pribumi yang beragama Islam. Diantara
ketiga golongan itu, pribumilah yang paling jauh tertinggal, baik secara
ekonomi maupun sosial. Pembedaan tersebut digunakan oleh Pemerintah Hindia
Belanda untuk mengadu domba pribumi dengan etnis lainnya dengan mengambarkan
secara umum (stereotype) bahwa
pribumi seolah-olah inferior, tidak
jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis lainnya terutama etnis cina.
Berbeda dengan pribumi, nasib golongan
Timur Asing lebih baik. Mereka dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk
melakukan berbagai peran, diantaranya :
1.
Menjadi perantara perdagangan antara pedagang Eropa dengan pribumi. Peran ini
sangat dirasakan pada periode awal masuknya Bangsa-Bangsa Eropa ke nusantara
diakhir abad 16 sampai terbentuk VOC.
2. Mengisi sektor ekonomi mikro.
Imigran-imigran Eropa yang datang ke Hindia Belanda umumnya untuk bekerja
sebagai pegawai pemerintah (sipil atau militer/tentara). Sebagian lain memilih
sektor swasta dengan mendirikan perusahaan-perusahaan bermodal besar. Usaha
menengah kebawah tak banyak dilirik oleh mereka. Pekerjaan disektor ekonomi
menengah kebawah seperti pedagang eceran (retailer) untuk kebutuhan pokok,
tekstil, perlengkapan keagamaan, pengelolaan rumah potong hewan, dan
distributor (agen resmi) hasil bumi, sebagian besar dikuasai oleh etnis Cina,
India dan Arab. Dengan jenis pekerjaan seperti itu, mereka bertempat tinggal di kota ataupun di
pinggiran kota. Berbeda dengan penduduk pribumi yang sebagian besar masih
menetap di desa.
Pemisahan struktur masyarakat
berdasarkan etnis berlanjut dengan pemisahan kawasan hunian, sehingga muncul
perkampungan-perkampungan etnis. Kantong-kantong etnis terbentuk, baik secara
alamiah maupun tersistem oleh peraturan pemerintah kolonial.
Setelah VOC berhasil menguasai Batavia
dan mendirikan benteng pada tahun 1619, penduduk asli sunda kelapa (jayakarta)
melarikan diri, menyingkir kearah barat menuju Banten dan sekitarnya. Batavia
seolah kosong, ditinggal penghuninya (pribumi). VOC kerepotan karena tidak ada
sumber daya manusia untuk membangun kota yang mereka hancurkan sebelumnya.
Kebijakan membuka kran imigran dari luar pun ditempuh J.P Coen. Dari luar kepulauan
nusantara, gelombang imigrasi didatangkan dari Cina, Arab dan India. Cina
adalah etnis terbanyak yang didatangkan ke Batavia.
Perkampungan cina (Chinatown) di Batavia (Jakarta)
terkonsentrasi di kawasan glodok sebagai pecinan yang keberadaannya telah
muncul berabad-abad silam. Glodok pada periode 1680 sampai 1720 termasuk
kedalam wilayah ommelanden (kawasan
sekitar Batavia) yang keberadaannya diluar tembok kota (pusat kota). Etnis cina yang telah terlanjur menetap
diluar sekitar Batavia, seperti di Banten dan di Cirebon dipaksa memasuki
kawasan sekitar Batavia. Setelah pusat
kota Batavia dipindahkan ke Weltevreden
(sekarang sekitar Monas dan lapangan Banteng) diawal abad 19, kawasan-Kawasan
pecinan baru pun terbentuk diluar Glodok, misalnya di Pasar Baru, Meester
Cornelis (jatinegara), Pasar Tanah Abang dsb. Di luar Batavia, kantong-kantong
pecinan menyebar memasuki kawasan Jawa Tengah, salah satunya yang masih bisa kita
lihat di Daerah Semarang, tepatnya di Kampung kranggan, Kecamatan Semarang Tengah.
Imigran lain berasal dari Timur
Tengah. Di Batavia, komunitas Arab terkonsentrasi di daerah Pekojan. Pekojaan
oleh pemerintah kolonial ditetapkan sebagai Kampung Arab, karena menjadi tempat
untuk menampung imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan). Dari Pekojan inilah
menyebar beberapa Kampung Arab di daerah Jakarta, seperti di Krukut, Sawah
Besar, Tanah Abang, dan Kwitang. Secara umum, komunitas Arab mendiami wilayah
pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang, Gresik dan Surabaya.
Proses asimilasi etnis Arab dengan peribumi relatif berjalan dengan baik.
Selain dikenal dengan ketinggian moralnya, orang-orang Arab kerap kali
melakukan perkawinan dengan penduduk lokal, hal ini disebabkan tidak adanya
wanita Arab yang bermigrasi. Mudahnya orang-orang Arab bersosialisasi, membuat
pemerintah kolonial khawatir, sehingga menugaskan kepada Prof. L.W.C Van Den
Berg (seorang orientalis sebelum Snouck Hugronje) untuk melakukan pengamatan
terhadap keberadaan etnis Arab di nusantara. Laporan hasil kerjanya itu
kemudian dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul et las colonies Arabes dans
Politik Statistik
Penduduk
Pada zaman kolonial Hindia-Belanda
jarang sekali tersedia kumpulan statistik yang mencerminkan kemajuan masyarakat
Indonesia di bidang sosial ekonomi. Kecuali kelengkapan data yang minim, pemerintah
kala itu memang tidak berkeinginan memajukan status sosial dan kesejahteraan
ekonomi pribumi. Pelaksanaan tugas statistik secara khusus diserahkan kepada Central Kantoor Voor de Statisteik. (sekarang
Badan Pusat Statistik). Catatan resmi
tentang penduduk di Jawa dan Madura dikumpulkan secara berkala selama abad XIX
berdasarkan laporan dari pejabat setempat. Meskipun Belanda adalah negara yang
paling lama mencengkramkan kuku kolonialismenya di tanah air, tetapi Inggris
dibawah kepemimpinan Stamford Raffles justru menjadi pionir pengumpulan data
statistik penduduk. Selesai dilaksanakan pada tahun 1815, pencatatan data ini
menghasilkan angka perkiraan penduduk pulau jawa dan Madura sebesar 4.600.000
jiwa. Statistik penduduk bagi Raffles diperlukan sebagai landasan kebijakan
politik ekonominya di Indonesia : peraturan
sewa tanah (landrentestelsel).
Sepeninggal Raffles (1816), Belanda
kembali berkuasa di Indonesia. Sejak saat itu di instruksikan kepada residen untuk
menyusun monografi daerah kerjanya. Akan tetapi pemerintahan Hindia Belanda
belum mampu melalakukan pencatatan secara menyeluruh setidaknya di Pulau jawa,
alasan utamanya, pemerintah tidak punya uang.
Oleh karena itu dalam peroide 1840-1850 hanya dilakukan pencatatan
penduduk secara ad hoc (temporer) di
daerah tertentu saja. Melewati tahun 1850, perhatian pemerintah kolonial
meningkat terhadap keadaan penduduk akibat dari tekanan politik yang datang
dari kaum liberalis di Parlemen Belanda dan mulai stabilnya keuangan pemerinta
(hasil dari Cultuurstelseel). Angka
resmi jumlah penduduk Pulau Jawa dikeluarkan pemerintah pada tahun 1850 sebesar
9.000.000. Tahun 1860 sebesar 12.000.000 dan terakhir tahun 1875 sebesar
18.000.000. Mulai tahun 1880 pencatatan penduduk dengan sistem register
dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Peralihan sistem pendataan penduduk dari
register ke cacah jiwa (sensus) baru dilakukan pada tahun 1920, berbeda dengan
sistem lama, pada sensus ini seluruh anggota keluarga dalam rumah tangga
tercacat lengkap disertai keterangan demografinya. Karekteristik penduduk, dan
sebaran penduduk semakin akurat, kala dilakukan sensus pada tahun 1930. Bisa
dikatakan ini adalah sensus modern pertama. Di tahun tersebut penduduk Pulau
Jawa tercatat sebanyak 41.700.000 jiwa.
Bila dihitung atas dasar jumlah penduduk selama periode 1815-1905 diperoleh
angka pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahunnya 2, 17 %
Perlu dicatat bahwa jumlah penduduk
yang didata hanya mencakup penduduk pribumi sedangkan penduduk asing terpisah
secara administrasi pencatatannya. Berikut jumlah penduduk Asing (imigran) di Pulau Jawa tahun 1860-1930
Tahun
|
Eropa
|
Cina
|
Arab
|
1860
|
43.876
|
221.438
|
8.909
|
1880
|
59.903
|
343.793
|
16.025
|
1900
|
91.142
|
537.316
|
27.339
|
1905
|
94.518
|
563.449
|
29.588
|
1920
|
168.114
|
809.039
|
44.902
|
1930
|
240.417
|
1.233.214
|
71.335
|
Kegiatan pencatatan penduduk masa
Hindia Belanda memunculkan sebuah paradoks tersendiri. Pribumi hanya dijadikan objek
dari hasil analisa statistik. Kebijakan yang diambil berdasarkan data statistik
tidak pernah bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, melainkan
kesejahteraan pemerintahan koloni dan aparaturnya. Kalau pun ada, tak lebih dari
basa-basi politik koloni. Sebuah
ironi memang, disaat pemerintah kolonial mengabaikan fakta tentang rendahnya
taraf ekonomi penduduk pribumi dan tingginya angka buta huruf (akibat sulitnya
akses pendidikan), sementara pada periode tanam paksa dan setelahnya
(1831-1877), keuntungan bersih yang masuk ke kas pemerintah Hindia Belanda,
dari hasil keringat petani pribumi, kurang lebih 845 Juta Gulden.
Ambiguitas Masalah
Kependudukan
Standar permasalahan penduduk yang kini
dirumuskan dizaman modern, menempatkan kemiskinan sebagai pangkal masalah. Dari
kemiskinanlah muncul kriminalitas, buruknya kesehatan dan rendahnya kesadaran
akan pentingnya pendidikan. Kala Eropa berburu “harta karun” rempah-rempah yang
tersimpan di Hindia Timur, eskploitasi dan kekerasan sudah menjadi makanan
sehari-hari penduduk lokal. Kebijakan penguasa koloni yang cenderung reaksioner
dari proses yang monopolistik justru merupakan pemantik permasalahan penduduk.
Sederhananya, munculnya masalah penduduk dimasa kolonial disebabkan kebijakan
pemerintah itu sendiri.
Tidak ada data pasti tentang angka
kemiskinan pada periode penjajahan, meski demikian tak sulit menyimpulkan bahwa
kemiskinan penduduk nusantara melonjak drastis sejak berkuasanya pemerintah
Hindia Belanda. Kemiskinan struktural ini merupakan buah dari kebijakan ekonomi
merkantilis. Celakanya, Belanda tidak mengeruk komoditas penghasil devisa di
tanah leluhurnya. Kerukan terdalamnya diarahkan ke Nusantara. Peraturan memiskinkan
rakyat itu mengalami puncaknya ketika diterapkan kebijakan Cultuurstelsel. Kebijakan ini muncul atas dasar anggapan bahwa
penduduk nusantara memiliki hutang kepada pemerintah kolonial, sehingga untuk
melunasi hutang tersebut desa-desa harus mengikuti kebijakan tersebut. Kebijakan
ini dimulai pada tahun 1830, dimana masyarakat diwajibkan menyisihkan 20%
tanahnya untuk penanaman komoditas ekspor seperti tebu, nila, dan kopi.
Komoditas ekspor ini selanjutnya diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk
dijual kepada masyarakat internasional (ekspor). Sementara bagi penduduk desa
yang tidak memiliki tanah di desa, wajib bekerja pada kebun-kebun pemerintah
kolonial selama 75 hari dalam setahun (20%). Pemerintah menunjuk Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) sebagai perusahaan yang menjalankan kebijakan ini. Kebijakan
ini berdampak pada semakin terperosoknya
kehidupan ekonomi penduduk lokal. Kemiskinan melonjak, kelaparan terjadi justru
di daerah penghasil komoditas ekspor. Kondisi kelaparan ini muncul karena tiadanya
persediaan beras,(karena terfokus pada penanaman komoditas ekspor yang notabene
bukan padi/beras) seperti yang terjadi di Cirebon pada tahun 1843 dan Jawa
Tengah pada 1850, dimana harga beras melambung tinggi akibat produksi yang
berkurang. Belum lagi munculnya wabah penyakit akibatnya buruknya kesehatan.
Penyakit yang acapkali diderita penduduk dimasa itu diantaranya : cacar,
kolera, dan pes. Rakyat yang tidak puas akan kebijakan ini pun memilih untuk
menyingkir dari kehidupan desa. Urbanisasi menjadi salah satu pilihan untuk
mencari kehidupan yang lebih sejahtera. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke
kota untuk bekerja sebagai buruh atau pegawai daripada menjadi petani. Dari sinilah
awal dari maraknya kegiatan urbanisasi dilakukan penduduk desa di Indonesia
Kemisikinan, ketimpangan sosial dan
kesewanang-wenangan penguasa (abuse of power)
menjadi faktor ketidakstabilan tatanan sosial. Dalam kondisi sosial masyarakat
seperti itu, pelanggaran hukum, kerap kali terjadi. Pelanggaran hukum yang
dilakukan masyarakat di era kolonial, sejatinya harus dibedakan menjadi dua
bagian : kriminal murni dan protes
sosial. Aksi pembunuhan dan perampokan, dapat dikatergorikan sebagai kriminal
murni, sementara perlawanan masyarakat tertindas yang dipimpin oleh tokoh tertentu,
lebih layak dikatakan sebuah protes sosial (perlawanan). Akan tetapi, pemerintah
kolonial Belanda melakukan generalisasi terhadap semua bentuk aksi yang
menggangu stabilitas hukum. Tak heran jika dalam dokumen-dokumen resmi
pemerintah kolonial, protes-protes sosial yang kita sebut dengan perlawanan,
dicap sebagai pemberontakan. Disinlah letak perbedaan tafsir. Berbagai
kesalahan kebijakan pemerintah kolonial melulu ditimpakan kepada penduduk inlander.
Politik Etis : Solusi Setengah Hati
Berbagai
masalah kependudukan terutama yang dialamai oleh pribumi seolah dibiarkan begitu
saja. Pemerintah koloni menutup mata. Tak mau mengeluarkan kebijakan angin
segar bagi rakyat lokal. Dengan alasan tak perlu membuang uang untuk pribumi,
pemerintah kolonial juga menganggap upaya peningkatan kesejahteraan pribumi
dapat berimbas pada meningkatnya peran politik kaum pribumi yang berujung pada
lepasnya koloni Belanda di Indonesia. Ketakutan akan terjadinya blunder kebijakan, membuat kondisi
ekonomi dan sosial politik kaum pribumi berjalan ditempat. Sesungguhnya rasa
kemanusian tidak hilang sama sekali pada jutaan rakyat Belanda. Atas dasar
kemanusian (humanism), segelintir
tokoh berkebangsaan negeri kincir angin itu menyuarakan pendapatnya, memberi
kritik dan solusi atas permasalahan penduduk pribumi. Eduard Douwes Dekker
(Multatuli) menulis novel Max
Havelaar, novel ini berkisah tentang penderitaan penduduk Lebak (Banten) dimasa
tanam paksa. Seorang jurnalis E.S.W.
Roorda van Eisinga kerap menyuarakan sistem liberalisme di tanah Hindia Belanda,
dan di bidang politik Baron van Hoevell menjadi corong utama di parlemen
pemerintah Kerajaan Belanda. Pada akhirnya, tulisan Conrad Theodore van Deventer dalam jurnal De
Gids yang
berjudul Een Eerschuld menjadi
insprisasi bagi Ratu Wihelmina mengeluarkan kebijakan baru bernama Ethische Politiek. Kebijakakan politik
etis diluncurkan segera setelah pidatao sang ratu, tahun 1901. Kebijakan ini menyasar
pada tiga sektor penting peningkatan kualitas penduduk : pendidikan (edukasi),
pemerataan penduduk (transmigrasi) dan ketahanan pangan (irigasi).
Progres kualitas penduduk setelah
diberlakukannnya politik etis masih terasa samar. Untuk urusan pertanian
misalnya, mengutip dari statistik yang bersumber dari Het Indisch Verlslag tahun 1931 dapat diketahui bahwa total luas
tanah sawah (pertanian) dan tanah kering (perkebunan) di Jawa dan Madura dari
tahun 1921 sampai 1931 mengalami peningkatan dari 6,9 juta ha menjadi 7,6 juta
ha. Tetapi dalam urusan produktifitas pangan menunjukan angka yang fluktuatif.
Jangan lupa bahwa di akhir 1920-an sampai pertengahan 1930-an ekonomi dunia
sedang terpuruk (malaise) kemungkinan
besar penghasilan penduduk pribumi ikut mengalami penurunan. Mengantisipasi
krisis ekonomi menjalar ke sektor mikro, pemerintah kolonial mendirikan Volksbanken (Bank Rakyat), guna
menyalurkan kredit rakyat (Volkskredietwezen).
Sayangnya program ini tidak menyasar sampai ke penduduk desa, dimana sebagian
besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar