Home » » Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di Bidang Penduduk

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di Bidang Penduduk

Posted by Mozaik Sejarah on Minggu, 25 Oktober 2015



         
Kolonialisasi Kerajaan Belanda terhadap kepulauan Nusantara sepanjang awal abad XVII sampai pertengahan Abad XX,  telah merubah struktur dan komposisi penduduk pribumi yang telah lama terbangun dibawah sistem monarki Hindu-Budha, dan kesultanan Islam. Pemerintah Hindia Belanda yang diserahi tanggungjawab oleh kerajaan Belanda, mengurus daerah koloninya di Nusantara ,terutama pulau Jawa, membuat berbagai kebijakan yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaannya di nusantara hingga berabad-abad lamanya. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dibidang kependudakan, informasi statistik penduduk, dan permasalahan penduduk khususnya di pulau Jawa.
Stratifikasi Sosial  : Senjakala Pribumi
Pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya pembagian kelas sosial (stratifikasi sosial) bagi penduduk yang mendiami Jawa. Pembagian kelas sosial yang pada kelanjutannya mendorong adanya pemisahan kelas sosial’/, diatur dalam Pasal 163 indische staatsregeling. Kecuali untuk mempermudah pengaturan etnis, kebijakan ini bertujuan pula menurunkan dominasi pribumi, khususnya dibidang ekonomi dan sosial. Politik diskriminasi dan pecah belah ini dilakukan dengan cara membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan :                          
Eropa  ( termasuk Belanda)                                                                                                               Timur asing   (Cina , ,Arab, India )                                        
 Inlander ( pribumi)                                                                                                                             
Selain itu masih ada lagi kebijakan teknis pencatatan sipil. Staatsblad 1849-25 tentang catatan sipil penduduk Eropa, Staatsblad 1917-130  tentang catatan sipil untuk Golongan Timur, Staatsblad 1920-751 tentang catatan sipil untuk golongan pribumi yang beragama Islam. Diantara ketiga golongan itu, pribumilah yang paling jauh tertinggal, baik secara ekonomi maupun sosial. Pembedaan tersebut digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengadu domba pribumi dengan etnis lainnya dengan mengambarkan secara umum (stereotype) bahwa pribumi seolah-olah inferior, tidak jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis lainnya terutama etnis cina.
Berbeda dengan pribumi, nasib golongan Timur Asing lebih baik. Mereka dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan berbagai peran, diantaranya :                         
1. Menjadi perantara perdagangan antara pedagang Eropa dengan pribumi. Peran ini sangat dirasakan pada periode awal masuknya Bangsa-Bangsa Eropa ke nusantara diakhir abad 16 sampai terbentuk VOC.                 
 2. Mengisi sektor ekonomi mikro. Imigran-imigran Eropa yang datang ke Hindia Belanda umumnya untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah (sipil atau militer/tentara). Sebagian lain memilih sektor swasta dengan mendirikan perusahaan-perusahaan bermodal besar. Usaha menengah kebawah tak banyak dilirik oleh mereka. Pekerjaan disektor ekonomi menengah kebawah seperti pedagang eceran (retailer) untuk kebutuhan pokok, tekstil, perlengkapan keagamaan, pengelolaan rumah potong hewan, dan distributor (agen resmi) hasil bumi, sebagian besar dikuasai oleh etnis Cina, India dan Arab. Dengan jenis pekerjaan seperti itu,  mereka bertempat tinggal di kota ataupun di pinggiran kota. Berbeda dengan penduduk pribumi yang sebagian besar masih menetap di desa.
Pemisahan struktur masyarakat berdasarkan etnis berlanjut dengan pemisahan kawasan hunian, sehingga muncul perkampungan-perkampungan etnis. Kantong-kantong etnis terbentuk, baik secara alamiah maupun tersistem oleh peraturan pemerintah kolonial.
Setelah VOC berhasil menguasai Batavia dan mendirikan benteng pada tahun 1619, penduduk asli sunda kelapa (jayakarta) melarikan diri, menyingkir kearah barat menuju Banten dan sekitarnya. Batavia seolah kosong, ditinggal penghuninya (pribumi). VOC kerepotan karena tidak ada sumber daya manusia untuk membangun kota yang mereka hancurkan sebelumnya. Kebijakan membuka kran imigran dari luar pun ditempuh J.P Coen. Dari luar kepulauan nusantara, gelombang imigrasi didatangkan dari Cina, Arab dan India. Cina adalah etnis terbanyak yang didatangkan ke Batavia.
Perkampungan cina (Chinatown) di Batavia (Jakarta) terkonsentrasi di kawasan glodok sebagai pecinan yang keberadaannya telah muncul berabad-abad silam. Glodok pada periode 1680 sampai 1720 termasuk kedalam wilayah ommelanden (kawasan sekitar Batavia) yang keberadaannya diluar tembok kota (pusat kota).  Etnis cina yang telah terlanjur menetap diluar sekitar Batavia, seperti di Banten dan di Cirebon dipaksa memasuki kawasan sekitar Batavia.  Setelah pusat kota Batavia dipindahkan ke Weltevreden (sekarang sekitar Monas dan lapangan Banteng) diawal abad 19, kawasan-Kawasan pecinan baru pun terbentuk diluar Glodok, misalnya di Pasar Baru, Meester Cornelis (jatinegara), Pasar Tanah Abang dsb. Di luar Batavia, kantong-kantong pecinan menyebar memasuki kawasan Jawa Tengah, salah satunya yang masih bisa kita lihat di Daerah Semarang, tepatnya di Kampung kranggan, Kecamatan Semarang Tengah.
Imigran lain berasal dari Timur Tengah. Di Batavia, komunitas Arab terkonsentrasi di daerah Pekojan. Pekojaan oleh pemerintah kolonial ditetapkan sebagai Kampung Arab, karena menjadi tempat untuk menampung imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan). Dari Pekojan inilah menyebar beberapa Kampung Arab di daerah Jakarta, seperti di Krukut, Sawah Besar, Tanah Abang, dan Kwitang. Secara umum, komunitas Arab mendiami wilayah pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang, Gresik dan Surabaya. Proses asimilasi etnis Arab dengan peribumi relatif berjalan dengan baik. Selain dikenal dengan ketinggian moralnya, orang-orang Arab kerap kali melakukan perkawinan dengan penduduk lokal, hal ini disebabkan tidak adanya wanita Arab yang bermigrasi. Mudahnya orang-orang Arab bersosialisasi, membuat pemerintah kolonial khawatir, sehingga menugaskan kepada Prof. L.W.C Van Den Berg (seorang orientalis sebelum Snouck Hugronje) untuk melakukan pengamatan terhadap keberadaan etnis Arab di nusantara. Laporan hasil kerjanya itu kemudian dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul et las colonies Arabes dans

Politik Statistik Penduduk
Pada zaman kolonial Hindia-Belanda jarang sekali tersedia kumpulan statistik yang mencerminkan kemajuan masyarakat Indonesia di bidang sosial ekonomi. Kecuali kelengkapan data yang minim, pemerintah kala itu memang tidak berkeinginan memajukan status sosial dan kesejahteraan ekonomi pribumi. Pelaksanaan tugas statistik secara khusus diserahkan kepada Central Kantoor Voor de Statisteik. (sekarang Badan Pusat Statistik). Catatan resmi tentang penduduk di Jawa dan Madura dikumpulkan secara berkala selama abad XIX berdasarkan laporan dari pejabat setempat. Meskipun Belanda adalah negara yang paling lama mencengkramkan kuku kolonialismenya di tanah air, tetapi Inggris dibawah kepemimpinan Stamford Raffles justru menjadi pionir pengumpulan data statistik penduduk. Selesai dilaksanakan pada tahun 1815, pencatatan data ini menghasilkan angka perkiraan penduduk pulau jawa dan Madura sebesar 4.600.000 jiwa. Statistik penduduk bagi Raffles diperlukan sebagai landasan kebijakan politik ekonominya di Indonesia : peraturan  sewa tanah (landrentestelsel).
Sepeninggal Raffles (1816), Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Sejak saat itu di instruksikan kepada residen untuk menyusun monografi daerah kerjanya. Akan tetapi pemerintahan Hindia Belanda belum mampu melalakukan pencatatan secara menyeluruh setidaknya di Pulau jawa, alasan utamanya, pemerintah tidak punya uang.  Oleh karena itu dalam peroide 1840-1850 hanya dilakukan pencatatan penduduk secara ad hoc (temporer) di daerah tertentu saja. Melewati tahun 1850, perhatian pemerintah kolonial meningkat terhadap keadaan penduduk akibat dari tekanan politik yang datang dari kaum liberalis di Parlemen Belanda dan mulai stabilnya keuangan pemerinta (hasil dari Cultuurstelseel). Angka resmi jumlah penduduk Pulau Jawa dikeluarkan pemerintah pada tahun 1850 sebesar 9.000.000. Tahun 1860 sebesar 12.000.000 dan terakhir tahun 1875 sebesar 18.000.000. Mulai tahun 1880 pencatatan penduduk dengan sistem register dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Peralihan sistem pendataan penduduk dari register ke cacah jiwa (sensus) baru dilakukan pada tahun 1920, berbeda dengan sistem lama, pada sensus ini seluruh anggota keluarga dalam rumah tangga tercacat lengkap disertai keterangan demografinya. Karekteristik penduduk, dan sebaran penduduk semakin akurat, kala dilakukan sensus pada tahun 1930. Bisa dikatakan ini adalah sensus modern pertama. Di tahun tersebut penduduk Pulau Jawa tercatat  sebanyak 41.700.000 jiwa. Bila dihitung atas dasar jumlah penduduk selama periode 1815-1905 diperoleh angka pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahunnya 2, 17 %
Perlu dicatat bahwa jumlah penduduk yang didata hanya mencakup penduduk pribumi sedangkan penduduk asing terpisah secara administrasi pencatatannya. Berikut jumlah penduduk Asing (imigran)  di Pulau Jawa tahun 1860-1930
Tahun
Eropa
 Cina
 Arab
1860
43.876
221.438
8.909
1880
59.903
343.793
16.025
1900
91.142
537.316
27.339
1905
94.518
563.449
29.588
1920
168.114
809.039
44.902
1930
240.417
1.233.214
71.335

Kegiatan pencatatan penduduk masa Hindia Belanda memunculkan sebuah paradoks tersendiri. Pribumi hanya dijadikan objek dari hasil analisa statistik. Kebijakan yang diambil berdasarkan data statistik tidak pernah bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, melainkan kesejahteraan pemerintahan koloni dan aparaturnya. Kalau pun ada, tak lebih dari basa-basi politik koloni. Sebuah ironi memang, disaat pemerintah kolonial mengabaikan fakta tentang rendahnya taraf ekonomi penduduk pribumi dan tingginya angka buta huruf (akibat sulitnya akses pendidikan), sementara pada periode tanam paksa dan setelahnya (1831-1877), keuntungan bersih yang masuk ke kas pemerintah Hindia Belanda, dari hasil keringat petani pribumi, kurang lebih  845 Juta Gulden.
Ambiguitas Masalah Kependudukan
Standar permasalahan penduduk yang kini dirumuskan dizaman modern, menempatkan kemiskinan sebagai pangkal masalah. Dari kemiskinanlah muncul kriminalitas, buruknya kesehatan dan rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Kala Eropa berburu “harta karun” rempah-rempah yang tersimpan di Hindia Timur, eskploitasi dan kekerasan sudah menjadi makanan sehari-hari penduduk lokal. Kebijakan penguasa koloni yang cenderung reaksioner dari proses yang monopolistik justru merupakan pemantik permasalahan penduduk. Sederhananya, munculnya masalah penduduk dimasa kolonial disebabkan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Tidak ada data pasti tentang angka kemiskinan pada periode penjajahan, meski demikian tak sulit menyimpulkan bahwa kemiskinan penduduk nusantara melonjak drastis sejak berkuasanya pemerintah Hindia Belanda. Kemiskinan struktural ini merupakan buah dari kebijakan ekonomi merkantilis. Celakanya, Belanda tidak mengeruk komoditas penghasil devisa di tanah leluhurnya. Kerukan terdalamnya diarahkan ke Nusantara. Peraturan memiskinkan rakyat itu mengalami puncaknya ketika diterapkan kebijakan Cultuurstelsel. Kebijakan ini muncul atas dasar anggapan bahwa penduduk nusantara memiliki hutang kepada pemerintah kolonial, sehingga untuk melunasi hutang tersebut desa-desa harus mengikuti kebijakan tersebut. Kebijakan ini dimulai pada tahun 1830, dimana masyarakat diwajibkan menyisihkan 20% tanahnya untuk penanaman komoditas ekspor seperti tebu, nila, dan kopi. Komoditas ekspor ini selanjutnya diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk dijual kepada masyarakat internasional (ekspor). Sementara bagi penduduk desa yang tidak memiliki tanah di desa, wajib bekerja pada kebun-kebun pemerintah kolonial selama 75 hari dalam setahun (20%). Pemerintah menunjuk Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) sebagai perusahaan yang menjalankan kebijakan ini. Kebijakan ini berdampak  pada semakin terperosoknya kehidupan ekonomi penduduk lokal. Kemiskinan melonjak, kelaparan terjadi justru di daerah penghasil komoditas ekspor. Kondisi kelaparan ini muncul karena tiadanya persediaan beras,(karena terfokus pada penanaman komoditas ekspor yang notabene bukan padi/beras) seperti yang terjadi di Cirebon pada tahun 1843 dan Jawa Tengah pada 1850, dimana harga beras melambung tinggi akibat produksi yang berkurang. Belum lagi munculnya wabah penyakit akibatnya buruknya kesehatan. Penyakit yang acapkali diderita penduduk dimasa itu diantaranya : cacar, kolera, dan pes. Rakyat yang tidak puas akan kebijakan ini pun memilih untuk menyingkir dari kehidupan desa. Urbanisasi menjadi salah satu pilihan untuk mencari kehidupan yang lebih sejahtera. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke kota untuk bekerja sebagai buruh atau pegawai daripada menjadi petani. Dari sinilah awal dari maraknya kegiatan urbanisasi dilakukan penduduk desa di Indonesia
Kemisikinan, ketimpangan sosial dan kesewanang-wenangan penguasa (abuse of power) menjadi faktor ketidakstabilan tatanan sosial. Dalam kondisi sosial masyarakat seperti itu, pelanggaran hukum, kerap kali terjadi. Pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat di era kolonial, sejatinya harus dibedakan menjadi dua bagian  : kriminal murni dan protes sosial. Aksi pembunuhan dan perampokan, dapat dikatergorikan sebagai kriminal murni, sementara perlawanan masyarakat tertindas yang dipimpin oleh tokoh tertentu, lebih layak dikatakan sebuah protes sosial (perlawanan). Akan tetapi, pemerintah kolonial Belanda melakukan generalisasi terhadap semua bentuk aksi yang menggangu stabilitas hukum. Tak heran jika dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah kolonial, protes-protes sosial yang kita sebut dengan perlawanan, dicap sebagai pemberontakan. Disinlah letak perbedaan tafsir. Berbagai kesalahan kebijakan pemerintah kolonial melulu ditimpakan kepada penduduk inlander.
Politik Etis : Solusi Setengah Hati
            Berbagai masalah kependudukan terutama yang dialamai oleh pribumi seolah dibiarkan begitu saja. Pemerintah koloni menutup mata. Tak mau mengeluarkan kebijakan angin segar bagi rakyat lokal. Dengan alasan tak perlu membuang uang untuk pribumi, pemerintah kolonial juga menganggap upaya peningkatan kesejahteraan pribumi dapat berimbas pada meningkatnya peran politik kaum pribumi yang berujung pada lepasnya koloni Belanda di Indonesia. Ketakutan akan terjadinya blunder kebijakan, membuat kondisi ekonomi dan sosial politik kaum pribumi berjalan ditempat. Sesungguhnya rasa kemanusian tidak hilang sama sekali pada jutaan rakyat Belanda. Atas dasar kemanusian (humanism), segelintir tokoh berkebangsaan negeri kincir angin itu menyuarakan pendapatnya, memberi kritik dan solusi atas permasalahan penduduk pribumi. Eduard Douwes Dekker (Multatuli)  menulis novel Max Havelaar, novel ini berkisah tentang penderitaan penduduk Lebak (Banten) dimasa tanam paksa.  Seorang jurnalis E.S.W. Roorda van Eisinga kerap menyuarakan sistem liberalisme di tanah Hindia Belanda, dan di bidang politik Baron van Hoevell menjadi corong utama di parlemen pemerintah Kerajaan Belanda. Pada akhirnya, tulisan Conrad Theodore van Deventer dalam jurnal De Gids yang berjudul Een Eerschuld menjadi insprisasi bagi Ratu Wihelmina mengeluarkan kebijakan baru bernama Ethische Politiek. Kebijakakan politik etis diluncurkan segera setelah pidatao sang ratu, tahun 1901. Kebijakan ini menyasar pada tiga sektor penting peningkatan kualitas penduduk : pendidikan (edukasi), pemerataan penduduk (transmigrasi) dan ketahanan pangan (irigasi).
            Progres kualitas penduduk setelah diberlakukannnya politik etis masih terasa samar. Untuk urusan pertanian misalnya, mengutip dari statistik yang bersumber dari Het Indisch Verlslag tahun 1931 dapat diketahui bahwa total luas tanah sawah (pertanian) dan tanah kering (perkebunan) di Jawa dan Madura dari tahun 1921 sampai 1931 mengalami peningkatan dari 6,9 juta ha menjadi 7,6 juta ha. Tetapi dalam urusan produktifitas pangan menunjukan angka yang fluktuatif. Jangan lupa bahwa di akhir 1920-an sampai pertengahan 1930-an ekonomi dunia sedang terpuruk (malaise) kemungkinan besar penghasilan penduduk pribumi ikut mengalami penurunan. Mengantisipasi krisis ekonomi menjalar ke sektor mikro, pemerintah kolonial mendirikan Volksbanken (Bank Rakyat), guna menyalurkan kredit rakyat (Volkskredietwezen). Sayangnya program ini tidak menyasar sampai ke penduduk desa, dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani.
             
(Bersambung)

           
           
           
           


           






0 komentar:

Posting Komentar

.comment-content a {display: none;}