Home » » Cerita Ringan dari Sang Proklamator

Cerita Ringan dari Sang Proklamator

Posted by Mozaik Sejarah on Jumat, 06 Agustus 2010

Cerita Ringan dari Sang Proklamator


Sukarno dan Pilihan Hidup Sederhana

Mungkin rasanya sudak muak kita melihat realitas pemimpin dan pejabat negara yang bergelimang harta dan fasilitas lainnya namun perilaku korup tak juga enyah dari kebiasaan para petinggi pemerintahan. Krisis kepercayaan rakyat pada pemimpinnya sudah berada pada titik nadir. Hubungan antara pemimpin dengan rakyat kini sekedar hubungan transaksional guna merealisasikan ambisi politiknya. Bila kita memutar jarum sejarah bangsa ini, sesunggunya krisis ekonomi yang melanda kita tak jauh berbeda dengan masa-masa antara tahun 1945 sampai dengan 1960-an. Namun rakyat kala itu tampaknya tak terlalu ambil pusing dengan semua keadaan yang serba sulit. Rakyat tetap setia berada dibelakang pemimpin bangsa. Setidak-tidaknya ada dua faktor yang menyebabkan krisis ekonomi saat itu tak berimplikasi pada krisis kepercayaan rakyat pada pemimpinya. Pertama, rakyat telah mengenal betul profil pemimpinnya. Proses menjadi seorang pemimpin dimasa itu betul-betul melalui perjuangan yang cukup panjang dan berat, maka tak heran banyak tokoh-tokoh yang lahir dari proses ini namanya menjadi abadi dimata rakyat. Sukarno, Hatta, Natsir, syahrir adalah beberapa contoh pemimpin yang hadir di tengah kecintaan pengikutnya. Kedua, krisis ekonomi yang melanda bangsa tak hanya dirasakan oleh rakyat namun para pemimipin pun turut merasakannya. Rasa sense of crisis pemimpin muncul karena memang mereka turut terlibat dan melebur bersama keseharian rakyatnya.



Presiden Pertama Republik Indonesia, Sukarno dapat menjadi refleksi atas perilaku pemimpin ditengah kondisi rakyatnya yanng serba kekurangan. Ia tak terlalu sulit menempatkan dirinya sebagai contoh kesederhanaan karena memang perjalanan hidupnya selalu dibanyangi kekurangan secara materi. Perlawananya kepada pemerintah Hindia Belanda dimasa-masa pergerakan nasional semakin menambah penderitaan hidupnya. Setelah menolak pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan praktis Sukarno tak punya pekerjaan tetap. Ia pernah menjadi guru sejarah disekolah namun cara menerangkan materi sejarah dianggap oleh pengawas sekolah yang berkebangsaan Belanda terlalu mendeskreditkan Negeri Belanda. Didepan pengawas sekolah yang mengawasinya, ia menerangkan materi sejarah seputar Imperialisme. Sukarno bekata lantang kepada murid-muridnya, "Negeri Belanda adalah kolonialis yang terkutuk". Selanjutnya dapat ditebak, Sukarno dipecat dan tamatlah karir gurunya yang seumur jagung itu.
Walaupun keadaan ekonominya bertambah sulit namun Sukarno tak pernah putus asa. Baginya kemerdekaan yang dicita-citakannya mencakup kemandirian secara ekonomi. Rakyat harus dibiasakan mencari nafkah dengan kerja keras tanpa harus bergantung pada Belanda. Penghasilan Sukarno saat itu hanyalah dari penerbitan koran partai dan gaji sebagi seorang ketua partai, itu pun tak seberapa dibandingkan dengan kebutuhan keluarganya. Maka tak jarang bilang Sukarno harus sering meminta maaf kepada kawannya yang kebetulan bertamu di rumanya. Namun permintaan maafnya dijawab dengan seloroh canda kawannya itu " Ah, Bung selalu tidak punya uang"

 
 Perbedaan Sukarno dengan Suharto

Dalam sejarah kepemimpinan bangsa, Sukarno dan Suharto tak dapat dipungkiri telah memberikan pengaruh yang sangat luas bagi negeri ini. Peran dan Kontroversi yang menghiasi perjalanan hidup kedua tokoh ini bak magnet bagi para peminat sejarah baik didalam maupun diluar negeri untuk menulis perihal kehidupan dan pemikiran mereka. Penulis tidak akan menguraikan sejarah kedua tokoh ini kerena memang telah banyak beredar buku-buku yang membahasnya, penulis hanya ingin memberikan sedikit catatan tentang perbedaan antara Sukarno dengan Suharto.
Dimasa muda, Sukarno sudah mulai terlihat peran dan pemikirannya. Sukarno muda kaya akan gagasan-gagasan tentang masa depan Indonesia dan orientasi dan visi kebangsaanya yang jelas. Ia berguru dengan Cokroaminoto, Alimin, Muso dan banyak tokoh lainnya. Sukarno tak sekedar menjadi murid yang manut tetapi juga kritis bahkan berani mengambil sikap dan pemikiran yang berbeda dengan guru politiknya. Ia melesat laksana anak panah dengan tujuan membebaskan bangsanya dari belenggu kolonialisme dan imperialisme. Keberanian beliau mengambil resiko dengan melakukan perlawanan politik terhadap pemerintahan Hindia Belanda menyiratkan keteguhan prinsipnya. Sedangkan Suharto dimasa muda tak banyak catatan tentangnya. Tidak ada ide dan gagasan dari Suharto muda tentang politik Indonesia yang muncul ke publik saat itu. Jangankan berani melawan Belanda, Suharto muda malah menjadi bagian dari pemerintaha Hindia Belanda ketika ia bergabung dengan KNIL yang merupakan pasukan kolonial pribumi yang bertujuan mengamankan kepentingan Belanda di Indonesia. Bandingkan dengan sikap tegas Sukarno yang menolak bekerja di kantor pemerintahan Hindia Belanda selepas meraih gelar insinyur. Saat zaman pendudukan Jepang Suharto pun ikut terlibat dalam PETA. Dan ketika Jepang menyerah ia lantas bergabung dengan TNI. Banyak kalangan yang melihat karir militer Sukarno yang mencla-menclo sebagai gambaran karakternya yang oportunis.

Perbedaan lain yang menarik diantara kedua tokoh ini salah satu adalah gaya bahasa mereka. Suharto dalam berbicara sangat menjaga intonasinya, selalu datar sehingga menimbulkan kesan kalem dan kebapak-an. Namun dibalik kelembutan itu tindakan Suharto sangat keras dan dingin dalam menghabisi lawan-lawan politiknya. Sebaliknya, Sukarno menurut Dr. Asvi marwan adam memiliki gaya bahasa yang khas. Misalnya saat Sukarno memimpin rapat sidang kabinet, didepan para Menterinya, beliau tidak canggung untuk mengatakan, "Mau Kencing dulu" saat hendak buang air kecil. Ketika perintahnya dihiraukan, ia berteriak "Saya merasa dikentuti." Saat meletus peristiwa G 30 S dan beredar kabar bahwa kemaluan para jenderal yang dibunuh dipotong-potong, Sukarno melihat kabar yang belum jelas ini dapat menimbulkan keresahan dan provokasi masa. Di depan sidang paripurna kabinet ia berkata " jangan ikut-ikutan membakar (memprovokasi masa dengan isu yang belum jelas) umpama katanya penis di potong-potong dengan 100 silet." Nampak begitu entengnya Sukarno menyebut alat vital pria didepan sidang kabinet. Walau gaya bahasanya sedikit kasar dan spontan bukan berarti Sukarno tak pernah berbicara dengan ungkapan-ungkapan penuh sastra bak seorang pujangga. Coba anda simak kalimat yang meluncur dari lisannya, "Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat dan menggelorakan Samudera agar tak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 sen sehari". Simak juga ucapan Sukarno ini, "Engkau tahu apakah Indonesia ? Indonesia adalah ponon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat Itu. Saudara-saudara yang tercinta, laut yang menderu dan memukul-mukul kepantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwa Indonesia yang bergerak dalam gemuruhnya gelombang samudera." Puitis bukan ?

 
Mata Mata Itu Bergelar Kupu-Kupu Malam

Pada tahun 1927 Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Pendirian partai PNI merupakaan kristalisasi pemikiran politik Sukarno dalam usaha menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Karisma Sukarno sebagai seorang pemimpin telah banyak menarik minat masyarakat untuk bergabung dengan PNI. Seiring dengan popularitas Sukarno dan PNI terutama di Pulau Jawa pengawasan Pemerintah Belanda terhadap Sukarno mulai meningkat. Belanda semakin merasa terancam dengan berbagai gerakan politik dan pidato-pidato beliau yang membuat panas telinga pejabat Belanda. merasa terus diawasi maka Sukarno memikirkan siasat yang tidak lazim agar pertemuan partai tidak diketahui pihak Belanda. Dan tahukah anda apakah siasat yang tidak lazim itu ? Sukarno membikin bingung polisi Belanda dengan cara mengadakan pertemuan di tempat pelacuran. Tempat ini dianggap aman oleh Sukarno karena bebas dari kecurigaan polisi.

Dalam pandangan Sukarno pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Sehingga selain menggunakan tempat pelacuran sebagi pertemuan politik Iajuga menggunakan pelacur sebagai mata-mata yang bisa mengorek informasi rahasia dari para polisi atau pun pejabat Belanda. Informasi ini sangat berguna bagi Sukarno dalam mengatur strategi perjuangan. Lantas kenapa harus pelacur ? Sukarno memberikan jawaban untuk pertanyaan ini. Dalam keadaan seseorang dikuasi nafsu maka seseorang itu lebih mudah lalai dari kewajibannya. Maka para polisi atau pun pejabat Belanda yang telah terperdaya oleh para pelacur itu banyak yang memberikan informasi penting pada para pelacur tanpa ia sadari. Kemudian informasi itu diteruskan kepada Sukarno. Disisi lain pelacur itu pun merasa turut andil dalam proses perjuangan walaupun dengan memanfaatkan Profesinya. Tidak heran bila terdapat 670 orang pelacur yang menjadi anggota PNI cabang Bandung.

Sudah tentu tindakan Sukarno ini mendapat kecaman luar biasa dari rekan-rekannya didalam partai PNI, salah satu orang yang mengecam adalah Ali Sastroamidjojo. Namun Sukarno tidak sedikitpun bergeming atas kecaman tersebut. Baginya didalam perjuangan yang berat menggulingkan pemerintah Belanda diperlukan semua unsur kekuataan rakyat. Apapun profesinya asalkan dapat memberikan manfaat bagi perjuangaan haruslah dapat diberdayakan. Kisah ini mungkin terdengar kontroversi dan mengundang beragam pendapat namun apa yang terjadi sesungunya adalah fakta yang diungkapkan sendiri oleh Sukarno sehingga tak ada tendensi apapun bagi penulis ketika mengangkat kisah ini kepada para pembaca. Sebaliknya perbedaan dalam mensikapi sejarah justru menambah khazanah kita dalam melihat suatu peristiwa

Merdeka = Gratis ?
Ketika Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, seluruh rakyat menyambut gembira momentum yang telah dinanti-nantikan Bangsa Indonesia selama berabad-abad lamanya. Akan tetapi di awal masa kemerdekaan antara tahun 1946-1947 tampaknya rakyat belum mengerti apa arti sebuah kemerderkaan. Rakyat cenderung berpikir sederhana untuk membedakan kehidupan dimasa penjajahan dengan masa kemerdekaan. Misalnya, mereka berpikir ketika naik kereta api dimasa penjajahan Belanda atau Jepang harus bayar, maka setelah merdeka menjadi tidak bayar alias gratis. Ketika petugas kereta api mendatangi mereka meminta uang sewa kereta api mereka kaget " Lho.." ucap para penumpang dengan raut wajah yang sedikit tersinggung bercampur keheranan. Lalu mereka berkata kepada petugas "kan Kita Sudah merdeka ? ". Pantas saja bila Sukarno menjadi gusar dengan keluguan rakyatnya. Kalau saja semua gratis lantas darimana pendapatan negara yang baru lahir ini ? 

Pemikiran rakyat yang sederhana itu sebenarnya tidak harus dipersalahkan karena memang rakyat tak terlalu paham akan masalah politik dan kenegaraan. Bagi rakyat kemerdekaan itu harus dirasakan langsung dalam kehidupan mereka. Kesejahteraan memang belum tercapai pada masa-masa awal kemerdekaan dan itu dapat dimaklumi mengingat keadaan negara yang belum stabil. Bahkan para Founding Father pun turut merasakan hidup dalam penderitaan seperti rakyat pada umumnya. Kini kemerdekaan itu telah dirasakan rakyat Indonesia selama lebih dari 60 tahun dan pantaslah bila rakyat mulai menuntut janji kemerdekaan itu. bukankah Nabi bersabda apabila hari ini sama dengan hari kemarin adalah kerugian dan apabila hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah musibah. Maka bila hari ini rakyat kembali berpikiran sederhana seperti diawal-awal masa kemerdekaan adalah sesuatu yang wajar dan realistis. Pendidikan gratis dan Kesehatan gratis dan mungkin saja suatu saat naik kereta api gratis. Bila itu dapat dirasakan oleh rakyat, maka kita pun dapat berteriak lantang "Merdeka.....!!"

 

 

 

 

 


0 komentar:

Posting Komentar

.comment-content a {display: none;}